Kami berdua, Dubes Indonesia untuk Rusia
Hamid Awaluddin dan saya, duduk di Restoram Le Pain, sebuah restoran
Belgia yang khusus menyediakan minuman dan makanan dari cokelat.
”Bung, kapan pertama kali mengunjungi Rusia?” tanya Pak Dubes mengawali pembicaraan.
”Tahun 1993, dua tahun setelah Uni Soviet ambruk,” jawab saya. ”Dan, ini kunjungan saya yang keempat.”
”Wah, hebat dong, bisa membandingkan situasi sekarang dan tahun-tahun awal setelah Uni Soviet bubar,” kata Pak Dubes.
Dari
sinilah kami mengobrol soal Rusia. Sekarang ini, jangan lagi
membayangkan Moskwa seperti awal tahun 1990-an, setahun dua tahun
setelah pembubaran Uni Soviet, yang serba muram. Belum banyak tempat
yang bisa bebas dikunjungi. Belum banyak rumah makan.
Moskwa
sekarang adalah Moskwa yang ceria. Jalan-jalan di ibu kota Rusia itu
sama dengan di Jakarta, macet. Berbagai mobil buatan negara-negara
Eropa Barat, Amerika Serikat, Korea Selatan, dan Jepang sangat mudah
ditemukan. Mobil buatan Rusia, seperti Lada, tergusur ke pinggiran.
Kalaupun ada di pusat kota juga tidak banyak.
Akar-akar
kapitalisme modern makin kokoh mencengkeram bumi Rusia. Lambang-lambang
produk negara kapitalis begitu mudah ditemukan di Moskwa. Di
butik-butik bergantungan produk-produk pakaian asal Perancis, Italia,
dan Inggris. Sebut saja, Celine, Christian Dior, Givenchy, Guy La
Roche, Yves St Laurent, Pacco Rabane (Perancis). Atau Gianni Versace,
Laura Biagiotti, Armani, Dolce & Gabana, Moschino, Gucci (Italia).
Moskwa
memang telah berubah. Rusia berubah. Hasil pemilu parlemen hari Minggu
lalu juga menjadi bukti perubahan itu. Rakyat sudah berani bersikap.
Mereka tidak membabi-buta mendukung partai yang berkuasa, Rusia Bersatu
(United Russia), partainya Perdana Menteri Vladimir Putin.
Dalam
Pemilu 2007, Rusia Bersatu merebut 315 dari 450 kursi Duma Negara.
Namun, menurut hitungan awal komisi pemilu, dari 95 persen suara yang
sudah dihitung, Rusia Bersatu kehilangan 77 kursi menjadi 238 kursi.
Berarti tak lagi menguasai dua pertiga kursi di Duma Negara.
Padahal,
menurut para pengamat internasional, banyak kecurangan dilakukan partai
berkuasa. Organisasi untuk Keamanan dan Kerja Sama di Eropa (OSCE)
menyatakan, pada umumnya pemilu ”dilaksanakan secara baik”, tetapi ada
persoalan dalam penghitungan suara. Itulah yang mendorong ribuan orang
turun ke jalan menuntut pemilu yang bersih, jujur, dan adil.
Yang
menarik justru perolehan kursi Partai Komunis bertambah. Semula partai
ini hanya memiliki 57 kursi, sekarang, menurut komisi pemilu, mereka
merebut 92 kursi. Bukan hanya Partai Komunis yang memperoleh lebih
banyak kursi, melainkan juga Partai Just Russia yang meraih 64 kursi,
dari sebelumnya 38 kursi, dan Partai Demokratik Liberal Rusia yang
memperoleh 56 kursi dari sebelumnya 40 kursi.
Hasil sementara
ini di satu sisi memberikan gambaran tentang keterbukaan Rusia, di sisi
lain mencerminkan protes rakyat terhadap partai yang berkuasa. Mereka
tidak puas dengan kondisi ekonomi yang stagnan dan tidak terpenuhinya
janji-janji pemerintah. Apalagi, Putin terang-terangan menginginkan
kursi presiden lagi. Ia pernah menjadi presiden selama dua periode,
2000-2008.
Keputusan Putin itu, yang diprotes rakyat,
menggambarkan bahwa Putin yang muncul sebagai penguasa 12 tahun silam
ingin membangun sistem kekuasaan mirip sistem kekuasaan tradisional
Rusia: pemerintahan autokratik satu orang. Kekuasaan terpusat pada satu
orang: Putin!
Rusia dari zaman dulu hingga zaman komunis
dikendalikan oleh satu orang: tsar dan sekretaris jenderal partai
komunis. Meskipun Putin berpindah pos, dari presiden ke perdana menteri
(dan sekarang ingin jabatan presiden lagi), oleh para pendukungnya dia
disebut ”pemimpin nasional”.
Sejarawan Rusia, Medvedev,
mengatakan, seorang pemimpin nasional mungkin menduduki suatu pos
jabatan di pemerintahan, atau tidak sama sekali, tetapi yang pasti
otoritasnya absolut. Ini seperti Joseph Stalin yang selama berkuasa,
1928-1953, tidak pernah menduduki satu jabatan pun di pemerintahan,
tetapi kekuasaannya absolut.
”Suatu ketika Stalin ditanya ibunya
untuk menjelaskan apa pekerjaannya,” kata Medvedev. ”Dan, Stalin
menjawab, .... Yah, saya seperti tsar.... Sistem Putin sekarang ini
seperti percampuran antara monarki absolut dan Stalin.” (The Christian Science Monitor, 29 November 2011).
Itulah
yang ditentang rakyat Rusia. Dan, nanti, kalau mengobrol lagi di
Restoran Le Pain, akan saya katakan, ”Pak Dubes, Rusia ternyata tidak
berubah.”
No comments:
Post a Comment