Di sini saya tidak akan dan tidak perlu lagi mengurai apa dan siapa
sosok Lady Gaga, penyanyi asal Amerika Serikat, yang akan bertandang ke
Indonesia menggelar konser di Stadion Gelora Bung Karno, Jakarta, 3 Juni
nanti. Saya juga tidak berspekulasi soal pencekalan, maupun mengenai
ribut saling silang pendapat pro kontra larangan pemberian tidaknya izin
pertunjukan konser Lady Gaga bertajuk 'The Born This Way Ball'.
Justru
yang lebih menarik perhatian adalah munculnya beragam pernyatan sikap
dari kalangan tokoh masyarakat yang mewakili atas nama institusi
keagamaan seperti Majelis Ulama Indonesia (MUI), maupun oraganisasi
kemasyarakatan atau kelompok agama, seperti Front Pembela Islam (FPI)
atau Forum Umat Islam (FUI). Yang antara lain mengatakan bahwa konser
Lagy Gaga dapat merusak moral bangsa. Pernyataan ksi panggung mengumbar
aurat dan goyangannya bisa merangsang lawan jenis, penebar aliran sesat,
haram ditonton. Bahkan sampai ada usulan dikeluarkannya fatwa haram
buat penyanyi berjuluk “Mother Monster”, dan sebagainya.
Dalam
tulisan ini saya mencoba melihat fenomena kasus pro kontra Lady Gaga ini
dari perspektif lain yaitu dari sudut pandang dalam konteks budaya
musik yang sebenarnya juga terjadi berkembang di Indonesia, yaitu dengan
mengacu pada sebuah pribahasa; virus di seberang lautan tampak, gajah
di pelupuk mata tidak tampak.
Diibaratkan, kalau kedatangan Lady
Gaga adalah virus dari seberang lautan, dianggap sesat dan bisa merusak
moral, goyangannya sarat mengumbar hasrat seksual, makanya konsernya
haram ditonton. Untuk mengantisipasi dampak buruk virus dari seberang
lautan ini harus dicekal, dilarang, dan tidak diberi izin pertunjukkan.
Itupun belum cukup, sampai ada desakan mendesak agar Majelis Ulama
Indonesia (MUI) mengeluarkan Fatwa Haram nonton konser Lady Gaga. Bukan
cuma untuk urusan makanan, ternyata sertifikasi halal dan haram sudah
mulai merambah mengintervensi seni musik.
Lalu bagaimana berkenaan
dengan gajah-gajah yang berkeliaran di pelupuk mata kok tidak tampak.
Padahal gajah-gajah yang ada di pelupuk mata itu atraksi goyangannya tak
kalah vulgar erotismenya. Apa kita memang lebih suka melakukan
penglihatan dan pengamatan pakai teropong jarak jauh saja, dan tidak
pernah melihat secara kasat mata apa yang ada di depan mata kita
sendiri. Padahal goyangan gajah-gajah tersebut juga mengandung
penebaran virus merusak moral.
Jadi, kalau sosok Lady ‘Mother
Monster’ Gaga ini dianggap virus perusak moral bangsa karena sensasi
erotisme aksi panggungnya yang bisa mengundang rangsangan syahwat birahi
antar lawan jenis. Lalu bagaimana dengan gajah-gajah artis penyanyi
lokal yang tampilan aksi panggung juga mengumbar sensasi goyangannya
mengundang rangsangan hasrat birahi seksual?
Kalau alasan itu yang
ditudingkan ke Lady Gaga. Lalu bagaimana dengan keberadaan artis
penyanyi lokal yang tampilan aksi panggung tak kalah vulgar dan
seronoknya? Sebagai satu contoh bandingan saja, lalu apa bedanya kalau
kita melihat tampilan aksi panggung penyanyi dangdut koplo Trio Macan.
Tampilan
aksi panggungnya sami mawon (sama saja), mengumbar sensasi-sensasi
goyangan seronok erotisme dengan pola gerakan yang mengundang hasrat
birahi seksual.
Bahkan di Jawa Barat dan Madiun, trio penyanyi
yang lagi ngetop lewat lagu “Iwak Peyek” ini pernah dicekal oleh Majelis
Utama Indonesia (MUI) setempat, karena goyangannya di atas panggung
yang dinilai seronok berbau pornografi. Setidaknya dari kasus pencekalan
di daerah-daerah tertentu terhadap Trio Macam atau penyanyi dangdut
lainnya seperti Dewi Persik dan Julia Perez, menjadi semacam indikasi
bandingan ribut pro kontra Lady Gaga, sebagaimana pribahasa “Virus di
seberang lautan tampak, gajah di pelupuk mata tidak tampak.”
Kalaupun
Lady Gaga dituding dan dianggap penebar virus perusak moral anak
bangsa. Mari kita simak, untuk nonton konser Lady Gaga harga tiket mulai
dari Rp 465.000 sampai Rp 2.250.000. Pasti yang mampu nonton adalah
mereka yang berduit.
Sementara Trio Macan atau penyanyi dangdut
lainnya yang pola goyangan yang tak beda Trio Macam, tak jarang manggung
di ruang publik terbuka baik open air maupun in door, yang ditonton
segala umur dari anak-anak kecil, ABG, dewasa sampai kakek-nenek. Mereka
ikut bergoyang ria dibuai oleh pameran goyangan yang menjurus ke
sensasi-sensasi pornografi. Dan, jangan lupa pula, buat Komisi Penyiaran
Televisi (KPI), layar televisi juga mentayangkan tanpa sensor.
Sebagai
institusi pemerintah atau organisasi massa yang mengaku punya komitmen
sebagai penjaga moral bangsa seharusnya juga bersikap kritis, objektif
dan tidak tebang pilih dalam menyikapi hal ini, meski fenomenanya beda,
tak sama tapi serupa.
Kalau Lady Gaga harus dilarang, dicekal, dan
difatwakan haram, karena alasan normatifnya mengumbar aurat dan gerakan
yang merangsang lawan jenis, sebagaimana tuding Khalil Ridwan, Ketua
Majelis Ulama Indonesia (MUI). Larang atau cekal pula artis penyanyi
(dangdut) lokal tampilan aksi panggungnya dengan alasan normatif maupun
moralitas mengumbar aurat dan gerakan yang merangsang lawan jenis. Kalau
perlu keluarkan pula Fatwa Haram bagi deretan nama-nama penyanyi
dangdut lokal yang sudah mendapat stigmatisasi atas tampilan goyangan
aksi panggungnya yang mengumbar sensasi-sensasi yang mengandung dan
mengundang rangsangan hasrat birahi seksual .
Juga kalau perlu
perlakukan sama yaitu pencekalan terhadap lagu-lagu berlirik amoral.
Karena kalau kita simak saat ini banyak lagu-lagu baik pop maupun
dangdut yang pesan lirik lagunya masuk kategori amoral, seperti
mengangkat tema birahi atau perselingkuhan. Karena jelas lagu macam ini
tidak edukatif, asusila, amoral, dan bertentangan dengan norma agama,
serta berdampak buruk terhadap prilaku sosial.
Di luar urusan soal
ribut pro kontra soal pemberian tidaknya izin pertunjukkan. Kalau
akhirnya ada himbuan, statement atau pernyataan sikap dari para tokoh
masyarakat mewakili institusi keagamaan maupun dari organisasi
kemasyarakatan atau kelompok agama bahwa (konser) Lady Gaga adalah
haram, lalu bagaimana dengan artis penyanyi lokal yang juga punya
kemiripan goyangan tak sama tapi serupa yaitu sama-sama mengumbar aurat
dan gerakan yang merangsang lawan jenis?
Sudah tentu, sebagai
institusi maupun ormas yang mengaku penjaga moral bangsa perlu
menunjukkan komitmen pernyataan sikap tersebut secara konsistensi, tidak
terjebak pada posisi tawar-menawar dan tebang pilih. Jangan sampai
hanya mata pandangnya cuma fokus “virus di seberang lautan tampak, gajah
di pelupuk (kasat) mata tidak tampak.” Semoga!
No comments:
Post a Comment